"Banyak yang kelaparan tuan, sebagian lagi sudah mati membusuk" teriakku di pojok istana.
Tapi, seolah berbicara didepan kaca, orasiku memantulkan wajah luka, memantulkan wajah duka.
Aku kembali mencari pintu yang lainnya, dengan membawa darah-darah budak pandita, yang dipaksa menjadi mesin pekerja tanpa menyertakan kesejahtraannya.
Tapi, langkahku kembali gugur di meja-meja birokrasi.
Cak munir dan wiji tukul tersenyum dari tepi surga, senyuman yang aku lebih bangga menyebutnya dengan perlawanan, senyuman yang aku lebih bangga menyebutnya dengan pembangkangan. Perlawanan terhadap ketidak adilan, pembangkangan terhadap ketimpangan-ketimpangan.
Sedangkan di sisi lain, penguasa tersenyum sambil pongah dengan kekuasaan. Senyuman yang memarjinalkan semangat pemuda-pemuda desa, senyuman yang membunuh paksa; langkah-langkah kaum akademisi muda kota.
Tasikmalaya-2018