Seiring derasnya waktu, kedekatan Gi dan Ara semakin berjarak, dan setiap parasaan itu tumbuh subur, Gi terpaksa harus membunuhnya hidup-hidup.
Bukan, bukan Gi egois, hanya tidak mau terlibat terlalu jauh, bahwa kenyataannya bukan tentang ego ingin memiliki. Lebih dari itu, ini tentang persahabatan mereka, dan juga ada hati orang lain yang mesti ia jaga.
Gi tidak mau menjadi korban keserakahan demi mementingkan ego sesaat, sejak awal Gi tau hati Ara bukan untuknya, tapi siapa yang bisa mengatur hati buat berkata iya atau tidak? Bukankan itu fitrah yang diberikan tuhan untuknya.
"Hati selalu lebih kuat dari apa yang kita bayangkan, teguhlah dengan keyakinanmu. Tapi percayalah, aku adalah aku yang dulu, yang selalu suka ketika mendengar cerita-ceritamu, yang menjadi pendengar meski tidak banyak yg aku lakukan untuk membuatmu tersenyum kembali, aku suka menjadi tempatmu mengadu, meski omonganku tidak bisa merubah kenyataan" kata Gi dalam pesan singkatnya sebelum ia melakukan perjalanan.
Keputusan getir ini harus Gi ambil, ia akan melakukan perjalanan yang ia sendiri belum tau kemana dan jangka waktu yang belum bisa ia tetapkan.
"Aku takut kita hanya terjebak euforia, terjebak keadaan dan waktu yang begitu sempurna, gerimis, hening, malam, dan hanya ada kita berdua, orang lain hanya cameo untuk mengukuhkan keberadaan kita. dan kamu pasti tau, kelahiran kita; mengundang seribu bahaya" Balas Ara.
Gi pergi meninggalkan pesan yang belum ia baca. Ia membiarkan hatinya memukuli dirinya sendiri dan menunggu mati.
Beberapa bulan berlalu tanpa ada kabar dari Gi, semuanya berubah begitu cepat, ternyata lelaki yang dulu Ara agung-agungkan tidak lebih dari seorang pecundang, dia pergi setelah menyusuri setiap jengkal waktu bersamanya, berlalu setelah merambati kenyataan demi kenyataan yang coba mereka lalui, dan menghilang setelah Ara berikan apa-apa yang ia punya.
Benar katamu waktu itu Gi, Bahwa sekuat apapun bertahan jika bukan porsinya pasti akan pudar, dan sekuat apapun mengelak jika sudah menjadi garis hidup untuk bersama pasti akan menyatu kembali.
Bahwa semesta punya caranya sendiri untuk aku lebih memahami kenyataan, bahwa hidup terlalu remeh untuk sekedar meratapi semua kekesalan.
"Aku hanya mempersilahkan keheningan menggurui kita, esok pagi atau lusa dengan hati yang bijaksana, kita bicara, semunya akan baik-baik saja. Percaya." Pesan dari Gi tiba-tiba muncul setelah beberapa bulan menghilang tanpa kabar, seolah ia tau apa yang sedang di alami Ara.
"Mengertilah, aku hanya ingin kita bahagia tanpa ada hati orang lain yang kita sakiti.
Kita sejalan tanpa ada langkah orang lain yang kita halangi.
Kita tersenyum tanpa ada tangis orang lain yang kita ciptakan." Balas Ara setelah sebelumnya mengambil nafas yang dalam, dan membuangnya perlahan, Ia memcoba menenangkan dirinya sendiri.
"Sebelum aku memputuskan untuk pergi, harapan itu sudah aku kubur hidup-hidup, Ra. Bahwa kita bukan apa-apa, dan gak akan menjadi apa-apa. Semoga kita lebih arif melihat semua permasalahan ini, bahwa; segala bentuk hanya sementara." Pungkas Gi setelah memutuskan untuk tidak akan kembali lagi ke kota asalnya, ia pergi menuju ruang dan waktu yang tak terbatas.
***
Dan pada akhirnya mereka menyerah oleh jalan yang tidak bisa lagi di rubah, bahwa mereka bukanlah apa-apa dibalik takdir yang telah di tetapkan, dan tidak bisa melawan kenyataan yang telah di gariskan tuhan.
muhammadas, Tasikmalaya 2018.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar