Kamis, 06 Desember 2018

WAJAH-WAJAH LUKA

"Banyak yang kelaparan tuan, sebagian lagi sudah mati membusuk" teriakku di pojok istana.

Tapi, seolah berbicara didepan kaca, orasiku memantulkan wajah luka, memantulkan wajah duka.

Aku kembali mencari pintu yang lainnya, dengan membawa darah-darah budak pandita, yang dipaksa menjadi mesin pekerja tanpa menyertakan kesejahtraannya.

Tapi, langkahku kembali gugur di meja-meja birokrasi.

Cak munir dan wiji tukul tersenyum dari tepi surga, senyuman yang aku lebih bangga menyebutnya dengan perlawanan, senyuman yang aku lebih bangga menyebutnya dengan pembangkangan. Perlawanan terhadap ketidak adilan, pembangkangan terhadap ketimpangan-ketimpangan.

Sedangkan di sisi lain, penguasa tersenyum sambil pongah dengan kekuasaan. Senyuman yang memarjinalkan semangat pemuda-pemuda desa, senyuman yang membunuh paksa; langkah-langkah kaum akademisi muda kota.




Tasikmalaya-2018

Rabu, 14 November 2018

KULMINASI

Seiring derasnya waktu, kedekatan Gi dan Ara semakin berjarak, dan setiap parasaan itu tumbuh subur, Gi terpaksa harus membunuhnya hidup-hidup.

Bukan, bukan Gi egois, hanya tidak mau terlibat terlalu jauh, bahwa kenyataannya bukan tentang ego ingin memiliki. Lebih dari itu, ini tentang persahabatan mereka, dan juga ada hati orang lain yang mesti ia jaga.

Gi tidak mau menjadi korban keserakahan demi mementingkan ego sesaat, sejak awal Gi tau hati Ara bukan untuknya, tapi siapa yang bisa mengatur hati buat berkata iya atau tidak? Bukankan itu fitrah yang diberikan tuhan untuknya.

"Hati selalu lebih kuat dari apa yang kita bayangkan, teguhlah dengan keyakinanmu. Tapi percayalah, aku adalah aku yang dulu, yang selalu suka ketika mendengar cerita-ceritamu, yang menjadi pendengar meski tidak banyak yg aku lakukan untuk membuatmu tersenyum kembali, aku suka menjadi tempatmu mengadu, meski omonganku tidak bisa merubah kenyataan" kata Gi dalam pesan singkatnya sebelum ia melakukan perjalanan.

Keputusan getir ini harus Gi ambil, ia akan melakukan perjalanan yang ia sendiri belum tau kemana dan jangka waktu yang belum bisa ia tetapkan.

"Aku takut kita hanya terjebak euforia, terjebak keadaan dan waktu yang begitu sempurna, gerimis, hening, malam, dan hanya ada kita berdua, orang lain hanya cameo untuk mengukuhkan keberadaan kita. dan kamu pasti tau, kelahiran kita; mengundang seribu bahaya" Balas Ara.

Gi pergi meninggalkan pesan yang belum ia baca. Ia membiarkan hatinya memukuli dirinya sendiri dan menunggu mati.

Beberapa bulan berlalu tanpa ada kabar dari Gi, semuanya berubah begitu cepat, ternyata lelaki yang dulu Ara agung-agungkan tidak lebih dari seorang pecundang, dia pergi setelah menyusuri setiap jengkal waktu bersamanya, berlalu setelah merambati kenyataan demi kenyataan yang coba mereka lalui, dan menghilang setelah Ara berikan apa-apa yang ia punya.

Benar katamu waktu itu Gi, Bahwa sekuat apapun bertahan jika bukan porsinya pasti akan pudar, dan sekuat apapun mengelak jika sudah menjadi garis hidup untuk bersama pasti akan menyatu kembali.
Bahwa semesta punya caranya sendiri untuk aku lebih memahami kenyataan, bahwa hidup terlalu remeh untuk sekedar meratapi semua kekesalan.

"Aku hanya mempersilahkan keheningan menggurui kita, esok pagi atau lusa dengan hati yang bijaksana, kita bicara, semunya akan baik-baik saja. Percaya." Pesan dari Gi tiba-tiba muncul setelah beberapa bulan menghilang tanpa kabar, seolah ia tau apa yang sedang di alami Ara.

"Mengertilah, aku hanya ingin kita bahagia tanpa ada hati orang lain yang kita sakiti.
Kita sejalan tanpa ada langkah orang lain yang kita halangi.
Kita tersenyum tanpa ada tangis orang lain yang kita ciptakan." Balas Ara setelah sebelumnya mengambil nafas yang dalam, dan membuangnya perlahan, Ia memcoba menenangkan dirinya sendiri.

"Sebelum aku memputuskan untuk pergi, harapan itu sudah aku kubur hidup-hidup, Ra. Bahwa kita bukan apa-apa, dan gak akan menjadi apa-apa. Semoga kita lebih arif melihat semua permasalahan ini, bahwa; segala bentuk hanya sementara." Pungkas Gi setelah memutuskan untuk tidak akan kembali lagi ke kota asalnya, ia pergi menuju ruang dan waktu yang tak terbatas.

***

Dan pada akhirnya mereka menyerah oleh jalan yang tidak bisa lagi di rubah, bahwa mereka bukanlah apa-apa dibalik takdir yang telah di tetapkan, dan tidak bisa melawan kenyataan yang telah di gariskan tuhan.



muhammadas, Tasikmalaya 2018.

KLANDESTIN

Siang berlalu begitu saja, seolah cemburu dengan kemesraan kita, bagaimana tidak, disela jeda kembara, aku senandungkan nada-nada dari gesekkan dedaunan, semata untuk membuat instrumen di antara percakapan kita. Di sela langkah yang tertatih, aku susun puisi menjadi tanga-tangga kecil, semata untuk meminimalisir keluh lelahmu.

Dan petang sekejap dibungkam malam, aku disampingmu, tapi kamu hanya memeluk dirimu sendiri, sedangkan aku terbang, memunguti bias cahaya, menjadikannya sekepal keberanian.

Aku tau kamu masih terjaga, mencoba mencari potongan puzzle yang hilang, sedangkan aku lagi bermain-main dengan pikiranku sendiri, mencari celah untuk mengisi potongan puzzle yang hilang itu.

Lalu dimatamu, aku menemukan seseorang yang memelukmu erat, karena tak rela, kata-kataku membenturkan kepalanya ke langit, dan serpihannya jatuh sebagai hujan.

Kau rasakan itu? Itu kata-kataku yang berguguran, sebab awan tak mampu menampungnya.


muhammadas, Guntur 0411

Selasa, 10 Juli 2018

PERTANYAAN KLISE

"Apa kontribusi anda buat negara?"

"Belum ada, tapi saya tidak memilih bungkam dan tidak bisa merasa baik-baik saja dengan keadaan negriku saat ini. Karena kejahatan ada bukan karena banyaknya orang jahat, tapi karena diamnya orang baik"

Kopi habis, argumen selesai. Dia hilang dibalik rutinitas kota dengan menggadaikan kemerdekaannya.

Rabu, 30 Mei 2018

Sepasang Kaku Tanpa Ragu

Awan hitam menggantung tebal di langit-langit sore, terbentang mengitari seluruh ufuk, matahari yang tadi bersinar gagah kini bersembunyi dibalik mantel tebal, angin berkesiur kencang menampar telinga, suaranya seperti kelepak sayap elang yang terbang mengitari bumantara, sebentar lagi langit yang tadi cerah akan dipeluk hujan.
Hujan reda gerimis sisa, tapi tidak melunturkan secercah tekad kami untuk melihat keindahan alam raya.
Kami berdiri berdampingan, bersama mentatap ke ujung puncak, aku mengunci tatapan pada mata sayu yang selalu bersinar itu. memastikan tidak ada keraguan diantara kami.
 Berjalan bersama kepulan air yang bergumul dengan angin yang mencoba menerpa, dingin habis hujan sore itu menyelusup tubuh, harum dari aroma tanah setelah hujan tercium khas, wanginya memutar terbang terbawa angin mengitari udara. tanaman perdu yang menari terus menyemangati langkah demi langkah, gema dari angin yang berhembus lirih memberikan semangat untuk terus berjalan.
Detik itu aku melihat kenyataan dimatamu, di dalam mata sayu yang di payungi alis alami yang tidak akan purba oleh waktu, mata itu menyadarkanku bahwa hidup akan baik-baik saja selama aku berjalan bersamamu.
Jemari yang aku idamkan sejak lama kini mendekap erat, dekapan yang disemogakan tanpa memperdulikan waktu yang kian tua.
 Lagu lirih mengiringi langkah demi langkah, menemani untuk menggapai titik itu, namun waktu seakan terlalu cepat untuk bisa kita nikmati. Atau, terlalu sungkan untuk kita lewatkan, waktu dari sekian waktu yang sejak lama aku idamkan. waktu yang aku syukuri adanya. setidaknya untuk saat ini kita nikmati bersama.

Rebahkan lelah setelah sampai puncak.

Gerimis masih rinai puitik membelai kaki langit, malam turun seperti biasanya, namun di sebelah barat masih terlihat semburat kuning yang masih menyala, dia selalu punya cara termanis untuk berpamitan, suguhan semesta untuk kita berdua sore menuju malam; Kala itu.

BUKAN HITUNGAN MATEMATIK

Apakah kamu tau yang sedang kurasakan sekarang? betapa seringnya aku terhanyut dalam lapisan kekesalan, padahal itu hanya sebatas persepsi kekecewaanku terhadap keadaanku sekarang.
Terkadang aku hanya bisa menyalahkan posisiku, padahal itu adalah ketidak mampuanku untuk bertindak tegas dengan apa yang terjadi, persepsi tentang cinta yang mengubahku sekarang, sesuatu yang terkandung tak terbatas dan tak punya hitungan. Aku mengharapkan secarik harapan yang faktual. Atau belum bisa melihatnya dari sudut yang lain?
Meski konsekuensinya adalah sekat pembatasku semakin tipis, keseimbanganku harus di perdalam lagi, tidak mudah juga menjadi seseorang yang berpegang teguh pada persona orang lain.
Adalah ketidak tegasan yang aku anut sekarang, menentang terhadap intuisi dan ego, mungkinkah dikotomi tentang anomali perasaan yang tidak menentu, tidak sesuai dengan ekspektasi yang selalu kuharapkan, atau ketimpangan ideologi yang semakin rapuh. susah bagiku untuk menentukan sesuatu yang dualitas. aku seakan tak pernah bisa bertindak tegas tentang cinta, jika cinta bisa masuk dalam hitungan matematik pada angka berapakah ia akan pas, atau aku yang belum seutuhnya mafhum merumuskan cinta.
Aku tidak bisa merumuskan cinta lebih dari satu.

Selasa, 29 Mei 2018

YANG TERPALING

Duniamu teramat damai sebelum aku datang,  menjalani rutinitas dengan sangat teratur, aku menyeruak dari masa depan untuk menjemputmu. datang dengan cara paling sederhana di tempat tak terkira. Aku tak sehebat perajurit dengan kuda tempurnya, juga tak semewah kaum-kaum kapitalis, dengan cara ter-epik kamu bisa menghargai waktu yang terus berputar, kamu bisa menghargai setiap langkah peroses, menapaki setiap jalan dengan jeda. menikmati cumbuan di kesunyian belantara.
Aku menuntunmu menyusuri bentangan ufuk, menyapa nusantara tercinta.
Mungkin, kita memang ditakdirkan bertemu, bahkan sudah tersirat sejak kamu dilahirkan ke muka bumi ini, tuhan telah menulis takdir, sudah ada cetak biru bahwa aku dan kamu bertemu.
Entah kita terlahir dari golongan mana, yang aku tau, berada disampingmu membuat jantungku berdebar tak karuan, dan entah kenapa, aku jadi merasa aman dan baik-baik saja.
Aku dikirim ke bumi untuk meneliti kehidupanmu, mengintrogasi dengan cara termanis, kau bahkan menetapkan diriku untuk tetap berada disini. di planetmu.
Mungkin, karena duniamu teramat asing untuk orang sehening aku, aku yang sejak lama mendambakan sosokmu, kini makin takut akan kehilanganmu.
Kau luangkan waktumu untuk menggali perasaanku.


muhammadas, Tasikmalaya.2016

Jarak Antara Mimpi Dan Harapan

Dimana ada impian, disana tersimpan ke tidak pastian. Dimana ada kenyataan, disana tersimpan kepastian.
Kepastian itu mendamaikan, ke tidak pastian itu membuat kita semakin inventif.
Aku, sebagai seorang muda yang hidup dengan harapan-harapan, aku ingin berlari menjemput kenyataan.
Semuanya tentang mimpi, bagaimana aku sanggup terjaga menjaganya, sebelum bergerak beberapa langkah lebih cepat dari langkahku.
Dan aku, tidak mau mengapai mimpi oleh sebab keberuntungan-keberuntungan hingga harapan menjadi nyata dengan mudah, aku harus selalu menjaga jarak antara kenyataan dan mimpi, jarak dari aku dan mimpi adalah harapan.
Aku mencoba mencari arah tujuan tentang mimpi itu, menanyakannya kepada jendela kala hujan yang jatuh sore tadi, kemana arah menuju senyummu, kemana jalan menuju rumahmu.

Riak yang merinai di setiap sore sampaikan perlahan.

Dan aku mencoba mengikuti alur rahasia kehidupan, kelak bahwa kamu tidak berjalan sendirian, ada aku dalam setiap jejak langkahmu, kupastikan langkahku mengikuti jejakmu, dan tidak perlu tergesa-gesa, nikmati jeda; aku segera tiba.

Percayalah, kau tidak akan berjalan sendiri.


muhammadas, Tasikmalaya.2011

Pada Sebuah Dulu

Senyum itu yang pertama kali membisikkan, sebuah kata yang tidak mampu di terjemahkan, berharap semoga pada kapan, takdir mempertemukan kenyataan yang selalu menjadi angan-angan.
Dan untuk pertama kalinya, kau dan aku berpapasan tanpa terrencana, saling tatap tanpa ucap, saling menerka tanpa kata.
Harapan baru tercipta di sudut waktu, kala musim hujan waktu itu.
Hanya bersekat rinai yang memantik, tapi niat tak mampu menunjukkan wujudnya, asa tak mampu menyampaikan maksudnya.
Aku bukan pemuja, sebut saja aku si pemerhati sunyi.
Kau tidak sempurna untuk di cerna, hanya hati yang tidak pernah rela untuk kau pergi.
Soekarno pernah bersabda, ‘‘Ambil haluan kiri meski mereka memilih kanan’’, Maka aku memantapkan diri untuk senantiasa sejajar denganmu, mengetahui apa-apa tentangmu dan semoga aku mampu.
Aku tidak pernah tahu kapan kita di pertemukan kembali, mungkin esok pagi, mungkin bila nanti, atau bahkan seribu tahun lagi. Aku akan tetap berdiri disini, teguh bersama intuisi, karena hati nurani akan selalu berada di jalan inti.
Maka aku menuruti kata hati. Untuk sebuah kepastian, akan seperti apa akhir cerita kita nanti.

muhammadas, Tasikmalaya.2009

PROLOG

Berkaca pada pemaknaan rasa sakit yang sangat fatal bila salah dalam menyikapi, atau bermura pada penyesalan-penyesalan yang menyakitkan bila sewaktu-waktu terngiang. Maka aku memutuskan untuk menulis setiap jejak langkah peristiwa sepasang kita; ‘Kau dan Aku’ ke dalam bentuk fragmen dan puisi.
Aku yang dipecundangi kenyataan hanya bisa pasrah kepada takdir yang menjadi jalan hidupku sendiri. Seperti kata mereka; Hidup adalah tentang pilihan. Maka jalan ini yang aku tempuh kini.
Semoga kelak aku bisa lebih jujur, setidaknya untuk diri sendiri. Bukankah akan lebih sakit bila hidup dalam pengharapan yang tiada berujung?
Puisi dan Fragmen ini tercetus begitu saja disaat kau singgah di kehidupanku, kau datang diutus semesta untuk mengingatkan bahwa segala bentuk wujud hanya sebatas sementara.


                                        ***

Ciptakanlah jeda dalam hidup kalian untuk lebih menjaga hidup ini agar lebih seimbang. dengan setembikar teh hangat kala sudut cakrawala kemerahan terbakar mungkin bisa menjadi teman yang asyik untuk menuju imajinasi bawah sadar kalian. Selamat membaca karya-karya yang tidak sempurna ini.



Muhammadas, Tasikmalaya.2017

BELANTARA KOTA

Djuan mulai merapihkan tekad dan harapan di sela ransel, tidak lupa nama wanitanya, yang akan menamani di setiap jejak perjalanannya.

"Hati-hati, Tuan" lirih Laras dengan nada yang terbata-bata menahan tangis, ia mencoba tegar d hadapan kekasihnya kala itu.

Mereka bertemu di salah satu terminal keberangkatan malam itu.

"Ini petualangan yang sebenarnya, belantara yang sesungguhnya, tapi tak usah risau, Puan" kata Djuan meyakinkan wanitanya, ia usap air mata yang tidak bisa Laras tahan.

Laras mencoba tersenyum meski kesedihan nampak jelas di raut mukanya.

"Sampai jumpa dijalan, atau di rumah; kita semestinya berada" pungkas Djuan.

Air mata Laras terus membasahi pipinya yang kini mulai kemerahan, mataya menyaksi akan kepergian kekasihnya, ia mencoba tersenyum saat Djuan memeluknya untuk terakhir kalinya.

Langkah demi langkah, Djuan hilang di kejauhan jarak.


muhammadas, Bekasi.2017

Senin, 28 Mei 2018

PERADABAN LUKA

Kau ambil hatiku yang sedang meradang--dibuatnya sembuh perlahan,
Bangun; bisikmu nyaring menelisik pangkal telingaku.

Tersenyumlah, sapa senyummu; yang membuat jarum jam membisu, dan waktu berhenti ketika dua senyum yang tidak sengaja saling mencuri perhatian.

Kau tanam angrek dan tulip di sela senja, di sirami temaram gemintang yang turun di balik jendela tenda kita.

Aku terus berkutat dengan pikiranku sendiri, dan mencoba merebahkan angan di bahu jalan;  jalan menuju dirimu.

Tapi, tawar menawar waktu tidak pernah sepakat, kau pergi bersama awan pekat, meninggalkanku terlelap--disudut gelap



muhamadas, Buffalo Hill.2018

TERLELAP PAGI INI

Ingin ku muntahkan semua isi kepala
Namun daya tak sebanding dana
Prakata terbentur sistem yang ada
Koneksi, family, money

Imajinasi terbelenggu dalam ruang beku
Ekpektasi terpaku dalam kubangan ragu

Semalam, ku gores langit dengan semua keluh
Ku ajak angin bernada nyanyian pilu
Berharap pagi ini;
Penguasa tidak pura-pura buta
Petinggi tidak pura-pura tuli

Karena,
Janji-janji mereka hanya jadi pemanis
Selebihnya; Omong kosong!

Sudahlah,
Aku ingin tidur pagi ini
Aku ingin terlelap siang ini.


Muhammadas Jakarta.2018.